Seminggu yang lalu, ada pemilihan Ketua baru Organisasi Nyeng’iyah (bukan nama yang sebenarnya) - dihadiri oleh 26 anggota yang akan memilih salah satu dari ke-tiga calon Ketua Baru. Hasilnya, 25 suara sah, 1suara tidak sah. Jujur saja, satu orang yang golput tersebut, adalah saya sendiri! Selang tiga hari kemudian, entah ini kebodohan atau kebenaran, saya mengakui kegolputan saya kepada dua sosok yang selama ini saya hormati sebagai senior Nyeng’iyah. Walhasil, merekapun marah. “….Sikapmu sama sekali tidak mencerminan karakter anggota Nyeng’iyah….. Ketua sudah terpilih. Bagaimana sikapmu selanjutnya? Pikirkan nasib Organisasi ini kedepan….” Itulah sekuntum kalimat yang menebarkan bau-bau tak sedap.
Pedahal, orang tidak bisa menghakimi keputusan saya. Saya punya hak. Hak untuk tidak memilih siapapun. Bahkan tanpa alasanpun, saya berhak. Tapi, karena kebaikan saya, maka saya akan membeberkan alasan yang mendasari keberatan saya:
Bagaimanapun juga, setiap manusia memiliki sisi positif dan negatif. Kelebihan dan kekurangan. Ke-tiga calon adalah manusia. So, ketiganya musti memiliki kelebihan dan kekurangan. Dan bagi saya, kelebihan ketiganya, tidak terletak di wilayah kepemimpinan sebuah Organisasi Nyeng’Iyah. And that’s why saya menolak ke-tiga calon Ketua Nyeng’iyah. Tapi sekarang, Ketua sudah terpilih. Otomatis saya harus menerima kenyataan.
Meskipun manusia terkadang tidak membutuhkan Organisasi, tapi, saya yakin, Organisasi membutuhkan manusia. Oleh karena itulah, demi eksistensi Organisasi Nyeng’iyah, saya memutuskan mengubah sikap terhadap ketua terpilih. Dari menolak menjadi menerima. Dari tidak suka menjadi cinta.
Dengan demikian, izinkanlah saya menghamparkan harapan-harapan saya kedepan:
Pemimpin, menurut khazanah Intelektual Islam, dibagi menjadi dua: Rais dan Imam. Rais berasal dari kata ra’sun, yang artinya kepala. Kepala memiliki ciri-ciri khusus, yaitu: suka pamer, selalu berada diatas. Karena itu, Rais sangat lemah. Adapun Imam, berasal dari kata Umi yang artinya Ibu. Ibu memiliki watak mendidik, mengasihi, menyayangi, memangku, dan memelihara. Selain itu, seorang Ibu, perasaannya sangat sensitive, sehingga setiap kali terjadi sesuatu kepada sang Anak, maka Ibu merasakan hal yang sama. Dengan bahasa lain, seorang Ibu selalu mengetahui, mengerti dan memahami watak dan keinginan sang Anak. Kalau dilihat dari sudut pandang yang lain, sebagai pemimpin, seorang Imam, bukan hanya berbicara, tetapi juga bertindak untuk memberi contoh , seperti ketika kita sholat berjama’ah. So, saya berharap ketua terpilih, menjadi pemimpin yang berjiwa Imam.
***
Sebenarnya masalah ini sudah selesai. Tidak ada lagi yang menyoal. Tapi karena pemilihan Presiden BEM akan diadakan, maka saya merasa perlu untuk menaruh harapan kepada calon kandidat yang akan terpilih, agar supaya: Menerima pluralitas; warna, golongan dan kecenderungan. Menghilangkan fanatisme terhadap warnanya, golongannya, dan dirinya sendiri (iki asline podo wae barek karepku seng ndukor). Terakhir dan tidak penting, sebetulnya, saya ingin menyambungkan paragraph terakhir ini dengan paragraph-paragraf sebelumnya, tapi saya-kan pelit. So, saya tidak menulis kesinambungannya – Terserah apa tafsirmu mengenai tulisan ini. Sekian. Terimakasih.